Bandung, SPOL – Pembaharuan hukum pidana kerap kali dilakukan untuk mengikuti dinamika sosial di masyarakat. Hal tersebut dilakukan agar hukum dapat tetap menjaga kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan masyarakat secara luas.
Demikian materi yang dibahas dalam acara Webinar dengan mengangkat tema ” RKUHP Tameng Politi dari Kritik, Sabtu, 23 Juli 2022.
Sejumlah narasumber dihadirkan dalam webinar tersebut yakni, Ketua DEMA Fakultas Syari’ah dan Hukum, Usamah, Staff Jurusan Hukum Pidana Islam, Dr. Yayan M. Royani, S.H., M.H. dan Advokat Muda, Debi Agusfriansa Rahayu, S.H., M.H., M.AP., CNNLP., C.PS.
Dalam acara yang dipandu oleh moderator Kabid Pengembangan Intelektual, Saepul Alam itu disebutkan, penyusunan RKUHP sebagai pembaharuan sudah banyak melalui berbagai tahapan semenjak penyusunannya pertama kali pada tahun 2015. Namun, begitu, hingga saat ini hal tersebut belum bisa mencapai titik pengesahan menjadi UU, akibat banyaknya pasal-pasal yang dinilai kontroversial dalam draft RKUHP.
“Pasal-pasal yang dianggap bermasalah jika disahkan dan mendapat sorotan luas dari masyarakat antara lain adalah pasal 218 dan pasal 219 tentang Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden Bagian Kedua Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden,” ungkap Debi Agusfriansa Rahayu.
Selain itu, lanjut dia, ada juga pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum dan pasal 351-352 tentang Tindak Pidana terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.
“Pasal-pasal di atas dianggap sebagai suatu kemunduran sistem demokrasi oleh para ahli dan akademisi karena erat dengan pembungkaman masyarakat untuk dapat ikut serta berkomentar mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah nantinya,” pungkas Debi Agusfriansa Rahayu.***